KEDUTODAY.COM – Simak ulasan tragedi sepakbola di Brasil yang mirip dengan kisah tragis dunia sepakbola seperti di Kanjuruhan.
Brasil ternyata memiliki kisah tragis dunia sepakbola yang mirip dengan tragedi Kanjuruhan.
Brasil adalah salah satu negara yang diunggulkan pada setiap gelaran Piala Dunia, intip tragedi yang menggemparkan mirip kisah tragis di Kanjuruhan.
Sepakbola adalah olahraga paling populer di Brasil. Tim Samba ini banyak menorehkan prestasi di Piala Dunia.
Negara Amerika Latin ini juga banyak melahirkan para pemain sepakbola terbaik yang bertanding di daratan Eropa.
Sebut saja legenda sepakbola Pele, Ronaldo, Ronaldinho, Rivaldo dan saat ini ada pemain bintang Neymar.
Piala Dunia adalah gelaran sepakbola paling bergengsi bagi para pemain maupun pecinta sepakbola.
Siapa pun yang akan menjadi tuan rumah, hingar bingar suasana Piala Dunia sudah pasti terjadi.
Dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia merupakan kebangggan tersendiri. Segala sarana prasarana penunjang benar-benar harus dipersiapkan.
Selain itu pengamanan dan fasilitas kesehatan juga perlu dipersiapkan matang-matang apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Seperti pada awal Oktober 2022, di Indonesia terjadi tragedi paling mematikan selama gelaran sepakbola di gelar di tanah air yang dikenal dengan Tragedi Kanjuruhan.
Pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya yang digelar di stadion Kanjuruhan menimbulkan kerusuhan dan mengakibatkan ratusan korban jiwa.
Brasil sebagai penghasil bibit pemain terbaik dunia rupaya memiliki kisah kelam pada final Piala Dunia 1950.
Di final tersebut, Brasil menjadi tuan rumah dan diunggulkan atas lawannya Uruguay.
Skuad timnas Brasil berisi para pemain terbaik di sepanjang Piala Dunia 1950.
Bagaimana tidak, di lini depan ada trio Chico-Ademir-Friaca. Brasil memiliki gelandang serang terbaiknya yaitu ada si ajaib Zizinho dan kiper serta bek terbaik Moacir Barbosa dan Juvenal.
Baca Juga: Siapa Airyn Tanu? Inilah Profil dan Biodata sang Juragan Berlian Pemilik Passion Jewelry
Sejak turnamen dimulai hingga jelang laga final, Timnas Brasil memiliki statistik terbaik dengan 21 gol dari lima laga.
Berbagai persiapan pesta untuk tim Brasil telah disiapkan. Medali emas bahkan telah diukir dengan nama pemain Brasil oleh staff FIFA.
Hampir 200.000 penonton berdesakan di tribun yang membuat gelaran final tersebut menjadi laga Piala Dunia dengan jumlah penonton terbanyak di stadion.
Setelah babak pertama berakhir tanpa gol, striker Brasil Friaca memecah gol pada menit ke 47.
Hal tersebut seolah menjadi pertanda takdir kemenangan bagi Brasil dan para suporter pun terhanyut.
Pada menit ke 66, bek Uruguay Juan Schiaffino menyamakan kedudukan.
Kemudian bencana itu datang, secara mengejutkan bek Uruguay Alcides Ghiggia membobol gawang Brasil di menit ke 79.
Kedudukan berakhir 2-1 bagi Uruguay dan stadion menjadi hening karena tidak percaya atas hasil di depan mata mereka.
Bencana selanjutnya terus berlanjut di mana suporter Brasil dilaporkan bunuh diri dan tiga lainnya meninggal dunia karena serangan jantung.
Presiden FIFA menganugerahkan trofi Jules Rimet kepada tim Uruguay bahkan tanpa adanya seremoni.
Korban berjatuhan pun tidak hanya berasal dari suporter saja melainkan juga dari skuad Brasil sendiri.
Sebagian besar skuad saat itu tidak lagi mendapat kesempatan membela timnas di Piala Dunia.
Kiper Moacir Barbosa menjadi korban paling kejam. Sebagai sosok paling disalahkan atas dua gol Uruguay, dia mendapatkan perlakuan rasis karena berkulit hitam.
Dia dikucilkan puluhan tahun dan federasi sepakbola Brasil bahkan melarang kiper berkulit hitam di timnas Brasil.
Begitu pula dengan melarang penggunaan kaos putih yang digunakan saat final 1950 dan diganti dengan warna kuning dan hijau yang digunakan hingga sekarang.
Bagi Brasil, tragedi ini menjadi pukulan yang membekas di setiap ingatan semua orang.
Tragedi memilukan ini disebut dengan El Maracanazo atau Tragedi Maracana karena final tersebut digelar di stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil.***